PENELITIAN RIJAL AL-HADIS
MAKALAH
Dipresentasikan dalam Seminar Kelas Semester I Pasca Sarjana
UIN Alauddin Makassar pada mata Kuliah Ulumul Hadits
OLEH
SUSILAWATI MUHARRAM
NIM: 801 002 13 180
Dosen Pemandu
PROF. DR. Hj. ANDI RASDIYANAH
DR. HJ. ASIYAH KARA, Ph.D
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN (UIN)
MAKASSAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa dahulu hadist di ajarkan
kepada umat Islam yaitu dari Rasulullah kepada para sahabat. Kemudian sahabat
pun meriwayatkannya kepada tabi’in dengan lisan juga dengan mengandalkan daya
ingat. Hal ini terjadi karena Rasulullah melarang penulisan hadits. Tentu
selama kurun waktu yang begitu panjang sangat memungkinkan terjadinya kesalahan
bahkan mungkin juga penyimpangan hadits. Oleh karena itu maka dengan
pertimbangan ini menggugah ulama untuk mencurahkan kehidupannya mencari,
mengumpulkan dan meneliti Hadits Nabi dalam kurun waktu yang lama telah
tersebar ke perbagai penjuru daerah Islam yang terbentang luas. Upaya-upaya
tersebut bertujuan tidak lain adalah untuk mendapatkan keyakinan bahwa hadits-hadits
Nabi benar-benar berasal dari Nabi.
Untuk menentukan apakah seorang rawi dapat dipercaya atau
tidak para ulama hadits menggunkan sejarah biografi para rawi tersebut. Dalam
biografi dipertanyakan pula nama asli perawi, kuniah, laqab, kapan lahir dan wafatnya,
di mana tempat tinggalnya, tingkatan (thabaqat) sahabat, siapa saja gurunya,
murid-muridnya dan bagaimana moral serta intelektualnya.
Pada perkembangannya penelitian biografi para perawi hadits
tidak hanya pada perawi saja yang terlibat dalam sanad hadits, tetapi juga
kepada para pengkritik perawi dalam sanad.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus
bahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian ilmu Rijal al-Hadis dan
Ilmu al-Jarh Wa Ta‘dil?
2.
Bagaimana
teknik penetapan Rijal al-Hadis?
3.
Segi-segi
apa saja yang diteliti terhadap Rijal al-Hadis?
4.
Bagaimana
kaedah al-Jarh Wa Ta‘dil?
5.
Bagaimana
bentuk Maratib al-Jarh Wa Ta‘dil?
6.
Bagaimana
sikap kritikus hadis dalam menilai Rijal al-Hadis?
7.
Kitab-kitab
apa saja yang dapat dijadikan rujukan?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1.
Apa
pengertian ilmu Rijal al-Hadis dan
Ilmu al-Jarh Wa Ta‘dil?
2.
Bagaimana
teknik penetapan Rijal al-Hadis ?
3.
Segi-segi
apa saja yang diteliti terhadap Rijal al-Hadis?
4.
Bagaimana
kaedah al-Jarh Wa Ta‘dil?
5.
Bagaimana
bentuk Maratib al-Jarh Wa Ta‘dil?
6.
Bagaimana
sikap kritikus hadis dalam menilai Rijal al-Hadis?
7.
Kitab-kitab
apa saja yang dapat dijadikan rujukan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Rijal Al-Hadis dan Jarh wa
at-Ta’dil
Dalam penelitian rijal al-Hadis ada dua
pokok pembahasan yang akan dikaji yaitu tentang Tabaqah dan tarikh al-Ruwah.
Pertama, Ilmu rijal al-Hadis ialah
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ أحْوَالِ الزُوَاةُ وَ سِيرِهِمْ مِنَ الصَّحَابَةِ
وَ التَّابِعِينَ وَ أتْبَاعِ أتْبَاعِهِمْ
Terjemahnya
“Ilmu yang membahas tentang
kedaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari
golongan sahabat, golongan tabi’in dan tabi’it tabi’in.”[1]
Kedua, Tabaqah adalah
عِلْمٌ يَبْحَثُ
فِيْهِ عَنْ كُلِّ جَمَاعَةٍ تَشْتَرِكُ فِيْ أمْرِ وَاحِدٍ
Terjemahnya
“ilmu yang membaas tentang kelompok
orang yang berserikat dalam satu pengikut yang sama”[2]
Ketiga, Tarikh al-Ruwah
Tarikh al-Ruwah adalah ilmu yang
membahas tentang biograi para perawi yang menjelaskan tentang nama dan gelar,
tanggal dan tempat kelahiran, keturunan, guru, murid, jumlah hadits yang
diriwayatkan, tempat dan waktu, dan lain-lain.[3]
Dari pengertian di atas, maka dapat
diketahui bahwa ilmu Rijal al-Hadits merupakan ilmu yang memiliki
kedudukan yang tinggi nilainya, besar pengaruhnya dan sangat diperlukan. Dalam
hadits ada yang disebut sanad dan matan. Sanad adalah perawi,
kebenaran sebuah hadits berdasarkan sanad-nya dapat diterima atau di
tolak, shahih atau tidak. Jadi sanad merupakan separuh dari ilmu hadits.
Mengenai
pentingnya sanad ini, Muslim dan Ibnu Sirin meriwayatkan bahwa :
هَذَا العِلْمُ دِيْنٌ فَا نْظُرُرُوْا
عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيِنَكُمْ
Terjemahnya
“Ilmu ini (hadits) ialah agama,
karenanya telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari padanya.”[4]
Sanad merupakan tempat kembali dan pokok
pangkal Tasyri’i Islami (perundang-undangan Islam). Karena banyak hukum
yang bersumber dari hadits dan hadits juga menjelaskan ayat-ayat yang mujmal.
Jarh secara etimologi ialah melukai atau
tidak bisa dipercaya, sedangkan secara terminologi Jarh adalah upaya
untuk mengungkapkan keadaan para periwayat hadis, yang periwayatannya mungkin
menyebabkan ketidak nyamanan atau penilaian rendah.[5]
Ta’dil berasal dari kata ‘adl yang
berarti situasi dalam jiwa yang menunjukkan bahwa orang tersebut adalah jujur
dan dapat dipercaya.[6]
Ta’dil dalam ilmu hadis didefinisikan sebagai upaya untuk memperlihatkan
berbagai alasan untuk menerima periwayatan dari periwayat-periwayat tertentu.[7]
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu
yang yang membahas tentang segala hal yang berkaitan dengan perawi mengenai
kelebihan dan kekurangannya. Hadis itu terdiri dari sanad
dan matan. Sanad itu ialah para perawi, dengan sanadlah mana yang diterima,
mana yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak. Dialah jalan yang
mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Dengan demikian, mengetahui keadaan
para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh pengetahuan.[8]
Para periwayat hadis mulai
dari generasi sahabat Nabi sampai generasi mukharrijul hadis (periwayat dan
sekaligus penghimpun hadis) tidak dapat dijumpai secara fisik), karena mereka
telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan
maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan hadis, diperlukan informasi dari
berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik Rijal (periwayat) hadis.[9]
Pengetahuan yang membahas
berbagai hal yang berhubungan dengan perawi hadis, tidak hanya berkenaan dengan
hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela.[10]
Tujuan ilmu rijal
al-hadith yaitu untuk mengetahui dan meneliti keadaan ( hal ihwal) tokoh-tokoh
dalam sanad hadith dapat diterima atau tidak.Urgensi dikuasainya ilmu ini
karena di dalamnya membahas tentang periwayat hadith yang dapat menentukan
status sanad hadith. Jika perawi dalam sanad itu muttasil dan tsiqah pada
setiap tingkatannya maka periwayatannya sudah dapat diterima meskipun belum
final.
Sebagai contoh urgensi
ilmu ini adalah, disebutkan bahwa Umar bin Khathab melarang dan membakar
tulisan – tulisan hadith dan sampai memukul sahabat Abu Hurairah. Riwayat yang
menyebutkan bahwa Umar pernah menyebarkan edaran ke berbagai daerah agar orang
– orang membakar tulisan hadith adalah bersumber dari orang yang bernama Yahya
bin Ja’d. Dan setelah diteliti, sanadnya terputus sehingga tidak dapat
pertimbangkan sebagai argumen yang shahih. Begitu juga riwayat yang mengatakan
bahwa Umar pernah memukul Abu Hurairah. Riwayat ini setelah diteliti ternyata
palsu, karena bersumber dari seorang Syi’ah yang justru anti sahabat, khususnya
Umar. Karenanya riwayat seperti ini juga gugur dari pertimbangan. Tepatlah apa
yang dikatakan oleh Syeikh Abdullah bin Mubarak wafat 181 H, sistem sanad
adalah merupakan bagian dari agama Islam, sebab seandainya tidak ada sanad maka
setiap orang dapat mengatakan apa saja dengan menisbahkan kepada Nabi saw.
B.
Teknik
Menetapkan Rijal al-Hadis
Para ulama ahli kritik hadis
telah menetapkan suatu teknik atau teori agar penelitian terhadap periwayat
hadis dapat lebih objektif. Adapun teknik yang ditetapkan sebagai berikut:
1.
Al-Ta‘dil
didahulukan atas al-Jarh
Maksudnya, bila seorang
periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercelah oleh
kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah kritikan yang bersifat pujian.
Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji. Sedangkan sifat tercela
merupakan sifat yang datang kemudian. Oleh karena itu, bila sifat dasar
berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah
sifat dasarnya. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Imam al-Nasa’i (w. 303 H/915 M), namun pada umumnya ulama
hadis tidak menerima teori tersebut, karena kritikus yang memuji tidak
mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya, sedang
kritikus yang mengemukakan celaan adalah kritikus yang telah mengetahui
ketercelaan periwayat yang dinilainya.[11]
2.
Al-Jarh didahulukan atas al-Ta‘dil
Maksudnya,
bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji
oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi
celaan.
Alasannya adalah kritikus
yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya.
Dan dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi
kritikus hadis, dan persangkaan baik itu harus “dikalahkan” bila ternyata ada
bukti tentang ketercelaan yang dimilikioleh periwayat yang bersangkutan.
Pendukung teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama ushul
fiqh.[12]
Dikatakan oleh Imam Ahmad,
“setiap rawi yang telah ditetapkan ‘Adalah-nya tidak akan diterima pen-tarjih-an
dari seseorang kecuali telah betul-betul dan terbukti bahwa keadaan rawi itu
mengandung sifat Jarh.”[13]
3.
Apabila
terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus
dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela
disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.[14]
Maksudnya, apabila seorang
periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus
lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji,
kecuali bila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang bukti-bukti
ketercelaan periwayat yang yang bersangkutan.
Alasannya, kritikus yang
mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih
mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya
mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.
Pendukung teori ini adalah
jumhur ulama ahli kritik hadis. Namun, sebagian dari mereka ada yang menyatakan
bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan haruslah relevan dengan upaya
penelitian. Dan bila kritikus yang memuji telah mengetahui juga sebab-sebab
ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa sebab-sebab
ketercelaannya itu memang tidak relevan, maka kritikannya yang memuji tersebut
yang harus dipilih.
Dengan demikian, dapat
ditegaskan bahwa kontradiktif antara Jarh dan ta‘dil hanya bisa
terjadi bila betul-betul tidak ditemukan jalan penyelesaiannya. Sedangkan
kontradiktif yang masih memungkinkan dihilangkan tidak dikatakan kontradiktif,
bahkan bisa ditempuh cara lain yaitu Tarjih.[15](dicari
yang lebih unggul).
Seperti seorang rawi di-Rajh
dengan penilaian fasik karena diketahui kefasikannya, tetapi taubat rawi itupun
diketahui. Dengan demikian, rawi tersebut tidak termasuk Jarh atau
berdusta pada Rasulullah.
4.
Apabila
kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong Da’if, maka
kritikannya terhadap orang yang Siqah tidak diterima.[16]
Maksudnya, apabila yang
mengkritik adalah orang yang tidak Siqah, sedangkan yang dikritik adalah
orang yang Siqah, maka kritikan orang tersebut harus ditolak.Alasannya,
orang yang bersifat Siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat
daripada orang yang tidak S|iqah, dalam hal ini dapat dikemukakan
pernyataan al-‘Araj (w.117 H)[17] berkata
bahwa Abu Hurairah banyak menerima hadis dari Nabi Muhammad saw, selalu hadir
pada majlis Nabi Muhammad saw. dan tidak akan lupa apa yang telah didengarnya
dari Nabi Muhammad saw. Pernyataan al-‘Araj menunjukkan bahwa Abu Hurairah
merupakan periwayat hadis yang Siqah.
5.
Al-Jarh tidak
diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya
kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.[18]
Maksudnya, apabila nama
periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu
salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu
tidak dapat diterima, kecualidapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari
kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut.Alasanya, suatu
kritikan harus jelas sasarannya agar terhindar dari keragu-raguan atau
kekacauan.
6. Al-Jarh yang
dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian
tidak perlu diperhatikan.[19]
Maksudnya, apabila kritikus
yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusushan dalam
masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu,
maka kritikan tersebut harus ditolak.Alasannya, bahwa pertentangan pribadi
dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur.
Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik
dengan celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.[20]
Dari sejumlah teori yang
disertai dengan alasannya masing-masing, maka menurut penulis, yang harus
dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih objektif
terhadap para periwayat hadis baik yang berhubungan dengan intergritas
kepribadiannya maupun kapasitas intelektualnya.
Dengan demikian, dapat
ditegaskan bahwa apabila seorang rawi diJarh oleh para ahli kritik yang Siqah
sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Dan apabila seorang
rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima.
C.
Segi-segi
Rijal al-Hadis yang Diteliti
Para ulama hadis, dalam
melakukan penelitian Rijal al-hadis menggunakan metode yang beragam.
Untuk memberikan gambaran tentang kegiatan penelitian mereka dapat dilihat
dalam bentuk buku:
1.
Kitab-kitab
Tarikh al-Ruwat
Dalam kitab Tarikh
al-Ruwat ini berisi sejarah perawi-perawi hadis. Membahas tentang kapan dan
dimana seorang rawi dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa yang pernah
mengambil hadis dari padanya. Dan diterangkan pula dimana dan kapan ia wafat.[21]
Untuk menulis kitab Tarikh
al-Ruwat, ulama menggunakan metode berikut:
a.
Mengelompokkan
perawi berdasarkan angkatan tertentu yang disebut Tabaqat.
b.
Menyusun
periwayat berdasarkan tahun, dalam hal ini penulisnya menyebutkan tahun wafat
perawi, lalu menulis biografinya dan riwayat yang disampaikan. Ini dapat
dilihat dalam kitab Tarikh al-Islam oleh al-Zahabi.[22]
c.
Menyusun
periwayat secara alfabetis, metode seperti ini sangat membantu para
penulis yang membahas apara periwayat hadis.
d.
Menyusun
periwayat berdasarkan negeri, penulisnya mengemukakan para ulama dari satu
negeri dan mengemukakan keutaman suatu negeri, kemudian menyebutkan para
sahabat yang ada disana, menjadikannya tempat tinggal atau hanya sekedar lewat
saja, lalu menyebutkan semua periwayat secara alfabetis.
e.
Menyususn
berdasarkan Asma' (nama asli) perawi Kunna, Alqab Ansab (keturunan),
dan berdasar Ikhwah dan Akhwat (saudara laki-laki dan saudara
perempuan).
2.
Kitab-kitab
al-Jarh wa al-Ta‘dil
Sehubungan dengan kitab Tarikh
al-Ruwat, kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil memberi informasi tentang
kualitas pribadi seorang perawi, baik dari segi integritas kepribadiannya
maupun dari segi kapasitas intelektualnya.Dengan demikian dapat ditegaskan
bahwa usaha para ulama hadis dalam mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan
penelitian terhadap Rijal al-Hadis adalam dalam rangka memberikan
justifikasi tentang kredibilitas para perawi hadis, dan juga sebagai upaya
untuk mengenal lebih dekat para periwayat hadis agar dapat mengetahui lebih
rinci tentang kondisi periwayat tersebut, Sehingga dapat menentukan diterima
atau ditolaknya suatu hadis.
D. Kaidah al-Jarh wa Ta‘dil
Jarh menurut
bahasa berarti luka. Kata Jarh lebih banyak digunakan dalam bentuk
abstrak (non fisik) dan juga dalam bentuk konkrit (fisik). [23]
Menurut istilah, Jarh
adalah penolakan seorang rawi yang hafal (hafiz) dan kuat daya ingatnya
(mutqin’)terhadap periwayatan perawi karena adanya cacat yang
mencederakan atau terhadap periwayat rawi fasik, rawi tadlis, rawi
pendusta, rawi syaz,dan lain sebagainya.[24]
Jadi Jarh itu adalah
pengungkapan kecacatan perawi hadis. Dengan pengungkapannya itu bisa
menggunakan periwayatannya karena hal itu merupakan cacat dalam segi ‘adalah
(keta’dilan) atau cacat dalam segi ke-dabit-an mereka.
Adapun Ta‘dil menurut
bahasa mempunyai beberapa arti: 1) menegakkan, misalnya orang menegakkan hukum;
2) membersihkan, misalnya orang membersihkan sesuatu; 3) membuat seimbang,
misalnya orang membuat seimbang dalam penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil
mempunyai tiga pengertian, yaitu menegakkan (al-taqwin), membersihkan (al-tazkiyah)
dan membuat seimbang (al-taswiyah).[25]
Menurut istilah, Ta‘dil
adalah menyebutkan tentang keadaan rawi yang diterima periwayatannya.Hal ini
merupakan gambaran terhadap sifat-sifat seorang rawi yang diterima.[26]
Sementara
itu, TM. Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
وصف الرّ اوي بصفات
تو جب عدالتي هي مداو الفبول لرو اليته
Terjemahnya:
Mendefinisikan
si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak
penerimaan riwayatnya.[27]
Dengan demikian dapat
ditegaskan bahwa menetapkan ke-Ta‘dil-an atau Jarh kepada
seseorang memegang peranan yang sangat penting, bahkan menurut Mahmud ‘Ali
Fayyad, menetapkan ke-Ta‘dil-an itu sama dengan persaksian terhadap
bersihnya seorang perawi, dan menetapkan Jarh itu sama dengan menetapkan
bahwa seorang perawi yang di-Jarh itu tidak bermoral
berdasarkan bukti-bukti kecacatan seseorang, betapa pentingnya persaksian ini
karena pengalaman sunnah itu bergantung kepadanya.[28]
Dalam hubungan inilah
perlunya kaedah al-Jarh wa Ta‘dil.Kaedah-kaedahJarh dan Ta‘dil
adalah sebagai berikut:
1.
Bersandar
kepada cara-cara periwayatan hadis, sah periwayatan, keadaan perawi, dan kadar
kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdual-Kharijiyyun atau kritik yang
datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri hadis).
2.
Berpautan
dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan
keshalihannya dan ketiadaan shalihannya, ini dinamakan Naqdu al-Dakhiliyyun
atau kritik dari dalam hadis.[29]
Dalam kaitannya dengan
keadaan para periwayat, ulama ahli hadis telah menyusun peringkat para
periwayat dilihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka. Ulama
ahli hadis tidak sepakat tentang jumlah peringkat yang berlaku untuk al-Jarh
wa al-Ta‘dil.Sebagian ulama membagi menjadi empat peringkat, ada juga yang
membagi menjadi lima peringkat, dan yang lain membagi menjadi enam peringkat.[30]
Menurut Arifuddin Ahmad,
perbedaan jumlah peringkat bagi para periwayat hadis mengenai al-Jarh wa al-Ta‘dil,
sedikitnya disebabkan oleh tiga hal yaitu: (a) karena terdapat perbedaan
pandangan dalam penetapan bobot kualitas terhadap periwayatan tertentu; (b)
karena terdapat perbedaan lafal untuk penyifatan kualitas periwayat yang sama;
(c) karena dari kalangan ulama ada yang tidak konsisten dalam menyifati
periwayat tertentu.[31]
Dengan demikiandapat
ditegaskan bahwa kritik terhadap para periwayat, para ulama ahli hadis cukup
hati-hati, baik dari segi keterpujian maupun dari segi ketercelaan.
Adapun kritik dari dalam
hadis (Naqdu al-Dakhiliyyun), Arifuddin Ahmad menegaskan bahwa apabila
argumen-argumen yang diujikan untuk matan hadis bersangkutan telah
memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, maka matan hadis bersangkutan adalah
sahih. Sebaiknya, apabila argumen-argumen yang diajukan tidak memenuhi kaidah
kesahihan matan, maka matan hadis bersangkutan adalah daif pula. [32]
Berdasarkan keterangan di
atas, dapat ditegaskan bahwa, apabila penelitian itu dilakukan secara cermat
dan menggunakan pendekatan yang tepat maka dapat dipastikan bahwa setiap sanad
yang sahih pasti memiliki matanyang sahih, sebab adanya Syaz dan atauIllat
pada matan tidak terlepas dari kelemahan pada sanad, hal ini disebabkan
pendekatan yang digunakan dalam mengambil natijah terhadap penelitian sanad
ataupun matan kurang tepat. Misalnya sikap yang longgar dalam menilai seorang
periwayat, penelitian terhadap lambang-lambang periwayatan yang kurang cermat
dan matan hadis yang diteliti tampak bertentangan dengan matan hadis atau dalil
lain yang lebih kuat dinyatakan sebagai hadis yang Daif, padahal hadis
yang bersangkutan mungkin sifatnya berbeda,yang satu bersifat universal dan
yang lain bersifat temporal atau lokal.Kekeliruan disebabkan oleh kesalahan
menggunakan pendekatan penelitian.
E.
Maratibal-Jarh
wa al-Ta‘dil
Para perawi yang meriwayatkan
hadis bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilan dan ke-dabit-an.
Diantara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan
ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah.
Oleh karena itu, para ulama
menetapkan tingkatan Jarh dan Ta‘dil. Dan lafal-lafa yang
menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga tingkatan Ta‘dil ada enam
tingkatan, dan tingkatan Jarh ada enam juga.[33] Hal ini
ditegaskan pula oleh al-Sakhawi dengan membuat tingkatan al-Jarhdan al-Ta‘dil
menjadi enam tingkatan.[34]
Inilah urutan (tartib)
tingkatan al-Jarh dan al-Ta‘dil
dengan menggunakan bentuk genap (berpasangan) secara bertingkat mulai dari
bentuk al-Ta‘dil yang paling kuat sampai yang terlemah, dan mulai dari
bentuk al-Jarh}yang paling lemah sampai dengan yang paling kuat.
1.
Peringkat
Ta‘dil dan lafal-lafalnya
Tingkat pertama: yang
menggunakan bentuk superlatif dalam pen-Ta‘dil-an atau dengan
menggunakan wazan “af ‘ala”[35]yang
menunjukkan arti “sangat” dalam kepercayaan, seperti ucapan:
a. اوثق
النا س = orang
yang paling dipercaya
b. اثبت
الناس = orang
yang paling teguh
Tingkat kedua: dengan
mengulang-ulang lafal ‘adalah dua kali atau lebih baik yang diulangnya
itu, bentuk lafalnya sendiri, seperti ثبت
ثبت =orang yang teguh lagi teguh, atau yang
diulangnya itu dalam bentuk maknanya seperti ucapan mereka ثقة
حجّة= orang yang dipercayai lagi pula hujjah
dan ثقة ثبت
= orang
yang dipercayai lagi pula teguh.[37]
Setiap pengulangan lafal yang
lebih banyak, itu menunjukkan atas kuatnya tingkatan rawi di dalam segi ‘adalah-nya.
Tingkatan ketiga: yaitu
lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawiyang mencerminkan ke-Dabit-an,
atau menunjukkan adanya pen-Siqah-an tanpa adanya penguatan atas hal
itu. Seperti ucapan: ثبت= orang yang teguh (hati dan lidahnya), ثقة=
orang yang Siqah, حجّة=seorang tokoh, dan, متقن=orang yang meyakinkan (ilmunya).[38]
Tingkatan keempat: yaitu
lafal-lafal yang menunjukkan kepada tingkatan perawi yang tidak mencerminkan ke-Dabit-an
penuh, atau yang menunjukkan adanya keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan
hafalan dan ketelitian. Seperti ucapan صدوق = jujur, لاباس با=tidak
mengapa dengannya, menurut selain Ibnu Ma‘in, sebab menurut ibnu Ma’in kalimat ‘adalahSiqah,
kemudian لاباسبا= Siqah.kemudian
خيارالناس=
orang pilihan. Imam al-Sakhawi berkata setelah menyebutkan tingkatan-tingkatan Ta‘dil
sebagai berikut” sesungguhnya penetapan pada ahli tingkatan-tingkatan yang
dijadikan hujjah dengan keempat tingkatan yang pertama, diantaranya.”[39]
Ucapannya bersesuaian dengan kelompok Mu‘tadilin ulama al-arh wa al-Ta‘dil.
Para pengkaji mengetahui bahwa sebagian ulama mengemukakan bahwa pemilik
tingkatan keempat, hadisnya ditulis, diperhatikan, dan diberitahukan sehingga diketaui ke-Dabit-annya.
Tingkatan kelima: lafal-lafal
yang menunjukkan pada tingkatan perawi yang terlintas persyaratan Dabit,
tetapi lebih kecil ke-Dabit-annya daripada tingkatan keempat.
Seperti ucapannya:[40]
= sesuatu mendekati
hadisnya.
ما اقرب حديثه
= hadisnya baik
صالح الحديث
= guru yang
baik
شيخ صالح
Tingkatan keenam yaitu:
lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawi yang memilki sifat-sifat ‘adalah
yang tidak kuat seperti ucapan:[41]
= insya
Allah dia jujur
صدوق ان شاءالله
= orang
yang diharapkan Siqah atau tidak cacat. ارجو
ان لا باس با
=orang
yang sedikit kesalihannya. صوبلح
= ditulis hadisnya, dan
يكتب حديثه
=
dii’tibarkan hadisnya (hanya untuk
dipertimbangkan hadisnya)يعتبر به
Adapun hukum tingkatan ini
menurut Syaikh Manna al-Qattan adalah:
a.
Untuk
tiga tingkatan yang pertama, dapat dijadikan hujjah, tetapi meskipun
sebagian besar mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
b.
Adapun
tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka
boleh ditulis, dan diuji ke-Dabit-an mereka dengan membandingkan hadis
mereka dengan hadis-hadis para S|iqah yang Dabit, jika sesuai
dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan hujjah, jika tidak sesuai maka
ditolak, meskipun dia dari tingkatan kelima yang lebih rendah dari tingkatan
keempat.
c.
Sedangkan
tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka ditulis
untuk dijadikan sebagai pertambangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka
tidak Dabit.
d.
Dengan
demikian dapat dtegaskan bahwa rawi-rawi yang ditolak hadisnya untuk dijadikan
hujjah, dalam segi keagamaannyaialah orang-orang baik dan ‘Adalah, namun
ketercelaanya hanyalah dari segi ke-Dabit-annyasaja (daya hafal dan daya
ingat) kurang baik.[42]
2.
Peringkat
Jarh dan lafal-lafalnya.
Tingkatan pertama: yang
menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-Jarh
(kritikan) seperti:
لين
الحديت= lemah hadisnya, atau فيه
مقال= adanya ada kelemahan, dan او
تى مقا ل فيه=di
dalamnya pembicaraan yang paling rendah.
Tingkat kedua: yang menunjukkan adanya kelemahan terhadap
perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, seperti: لايحتجّ
با=tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya, serta
منكر الحديت= hadis
yang ditolak dan juga له منا كير= memiliki hadis-hadis munkar.
Tingkatan ketiga: yang
menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis hadisnya seperti; ضعيف
جدّا= lemah sekali, لايكتب
حديصث= tidak dicatat hadisnya,طرح الحديثه= hadisnya dibuang, مر
دود الحديث= hadisnya ditolak.
Tingkatan keempat:yang
menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan
hadis, seperti; متهم بالكذب= tertuduh bohong, متروك
الحديث= hadisnya ditinggikan; ليس
بالقوى tidak
kuat, فيه نظر=
perlu diteliti hadisnya.
Tingkatan
kelima: yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan
semacamnya, seperti; كذاب=orang yang pembohong; وضّاع = orang yang pendusta atau pemalsu hadis;يكذب=orang yang berbohong.
Tingkatan keenam: yang
menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan,
seperti;
= orang yang paling
bohong
فلان اكذب الناس
= orang yang paling dusta أوضع
الناس
F. Sikap Kritikus Hadis dalam Menilai Rijal
al-Hadis
Dalam mengemukakan kritikan, sikap
ulama ahli kritik hadis ada yang “ketat” (Tasyaddud), ada yang “longgar”
(Tasahud), dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni “moderat” (Tasawuf).[44]
Ulama yang dikenal sebagai Mutasyaddid
ataupun Mutasahhil, ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai
kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kelemahan
atau kepalsuan hadis. Al-Nasa’i (wafat 303 H/915 M) dan ‘Ali bin ‘Abdillah bin
Ja‘far al-Sa‘di al-Madini (wafat 234 H/849 M) dikenal sebagai Mutasyaddid
dalam menilai kesigatan periwayat, yang berarti juga dalam menilai kesahihan
suatu hadis.
Selanjutnya, Al-Hakim
al-Naisaburi (Wafat 911 H/1505 M) dikenal sebagai Mutasahhil dalam
menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan al-Zahabi (wafat 748 H/1348 M) dikenal
sebagai Mutawassit dalam menilai periwayat dan kualitas hadis.
penggolongan ini bersifat umum dan tidak untuk setiap penelitian yang mereka hasilkan.[45]
Dengan adanya perbedaan sikap
para kritikus hadis dalam menilai periwayat dan kualitas hadis tersebut,
berarti bahwa dalam penelitian hadis yang nilai tidak hanya para periwayat
hadis saja, tetapi juga para kritikusnya, dan sekiranya terjadi perbedaan dalam
mengetik, maka sikap kritikus harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan
isi kritik yang lebih obyektif.
Dalam hubungan ini, ulama
telah mengemukakan beberapa syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai
al-Mujarrah wa al-Muaddil;
1. Alim
2. Bertaqwa
3. Wara’
4. Jujur
5. Tidak terkena Jarh
6. Tidak fanatik terhadap sebagai perawi
7. Memahami dengan baik sebab-sebab Jarh.[46]
G. Kitab-kitab Rujukan
Berikut ini dikemukakan
kitab-kitab Rijal dengan lebih mengacu kepada susunan yang dikemukakan
oleh Mahmud al-Tahhan.
1.
Kitab-kitab
yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi
الإستيعا
ب فى معر فة الا صا ب
Susunan Ibnu ‘Abdi al-Barr
(wafat 463 H/1071 M).
اسد
الفا فى معر فة الصّحابة
Susunan ‘Izzu al-Din Ibnu al-Asir
(wafat 630 H/ 1232 M).
الإصابا
فى تميين الصّحابة
Susunan
Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/ 1449 M).
2.
Kitab-kitab
yang membahas biografi singkat para periwayat hadis yang disusun berdasarkan
tingkatan para periwayat (Tabaqatu al-ruwah) dilihat dari segi tertentu:
اطلبقات
الكبر ى
Susunan
Ibnu Sa‘ad (wafat 230 H).
كتاب
تذكرة الحقا ظ
Susunan Muhammad bin Ah}mad al-Zahabi (wafat
748 H/ 1348 M).
3.
Kitab-kitab
yang membahas para periwayat hadis secara umum:
التار
يخ الكتبير
Susunan al-Bukhari (wafat 256
H/ 870 M).
الجدح
والتعديل
Susunan Ibnu Abi Hatim al-Razi
(wafat 328 H).
4.
Kitab-kitab
yang membahas para periwayat hadis untuk kitab-kitab hadis tertentu:
الهد
اية و الارشاد فى معر فة أهل التفة و السداد
Susunan Ahmad bin Muhammad
al-Kalabazi (wafat 318 H).
التذكر
ة بر جال العشرة
Susunan Muhammad bin ‘Ali al-Husaini (wafat 765
H).
Kitab yang membahas para
periwayat hadis di kitab-kitab hadis dari keempat tokoh mazhab fiqhi yang tidak
dijelaskan oleh Tahzibul-Kamal karya al-Mizzi di atas.
تعجيل
المذفعة بزواند ر جال الأ نمة الأربعة
Susunan Ibnu Hajar al-’Asqalani.
5.
Kitab-kitab
yang membahas kualitas para periwayat hadis:
a)
Kitab-kitab
yang khusus membahas para periwayat yang nilai berkualitas Siqah oleh
penyusunnya:
كتاب
التفات
Susunan Abual-Hasan Ahmad bin’Abdilah al-‘Ijli
(wafat 261 H)
كتاب
التفات
Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban
al-Busti (wafat 354 H / 965 M)
تاريخ
أسماء ا التفات ممن نقل عنهم العلم
Susun an ‘Umar bin Ahmad bin
Syahin (wafat 383 H).
b)
Kitab-kitab
yang khusus membahas para periwayat yang dinilai lemah (Da’if) oleh
penyusunnya:
اضعفاء-
الكبير
Susunan al-Bukhari
الضّعفاء
– الصّغير
Susunan al-Bukhari
الضعفاء
والمتروكون
Susunan al-Nasa’i.
كتاب
الضّعفاء
Susunan Abu Ja’far Muhammad
bin ‘Amr al-Uqaili (wafat 323 H).
معر
فة المجر و حين من المحدّشين
Susunan Abu Hatim Muhammad
bin Ahmad bin Hibban al Busti.
c)
Kitab-kitab
yang khusus membahas para periwayat hadis yang kualitas mereka dipersoalkan:
الكا
مل فى ضعفاء الرّ جال
Susunan Abu Ahmad ‘Abdullah
ميز
ان الإ عتد ال فى نقد الرّجال
Susunan Muhammad bin Ahmad al-Zahabi.
اسان
الميز ان
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani
6.
Kitab-kitab
yang membahas para periwayat hadis berdasarkan Negara asal mereka:
تاريخ اسط
Susunan Bahsyal (Abu al-Hasan
Aslam bin Syah al-Wasiti (wafat 288 H)
مختصر
طبقات علماء افر يقيّة وتو نس
Kitab tersebut membahas
khusus para periwayat hadis di Sahih al-Bukhari.
رجال
صحيح مسلم
Susunan Ahmad bin ‘Ali
al-Asfahani (wafat 428 H).
الجمع
بين رجال الصّحين
Susunan Ibnu al-Qaisarani
(Muhammad bin Tahir ar-Maqdisi) (wafat 507H).
Kitab tersebut membahas
khusus para periwayat hadis di Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.
التعر
يف بر جال السو طا
Susunan Muhammad bin Yahya al-Tamimi
(wafat 416 H).
Kitab tersebut membahas
khusus para periwayat hadis di Muatta’Malik
7.
Kitab-kitab
yang membahas para periwayat hadis al-Kutubu al-Sittah (enam macam kitab hadis standar, yakni Sahih
al-Bukhari SahihMuslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i,
dan Sunan Ibnu Majah):
الكمال
فى أسماء الرّجال
Susunan ‘Abdu al-Gani al-Maqdisi (wafat 600 H).
kitab tersebut merupakan perintis kitab Rijal yang membahas para
periwayat al-Kutubus Sittah. Kitab-kitab yang berisi penyempurnaan
تهديب
الكمال
Susunan Abu-Hajjaj Yusuf bin
al-Zaki al-Mizzi (wafat 742 H)
اكمال
تهذيب الكمال
Susunan ‘Ala al-Din Muglataya
(wafat 762 H).
تذهيب
الهذيب
Susunan Muhammad bin Ahmad al-Zahabi
(wafat 748 H/1348 M).
الكاشف
فى معر فة من له رواة فى الكتب السّتة
Susunan Muhammad bin Ahmad al-Zahabi.
تهذيب
التهذيب
Susunan Ibnu Hajar
al-‘Asqalani (wafat 852 H/1449 M).
تقر
يبالتهذيب
Susunan Ibnu Hajar
al-‘Asqalani.
خلاصة
تذهيب تهذيب الكمال
Susunan Saifu al-Din Ahmad
‘Abdillah al-Khazrahji (wafat 924 H).
8.
Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis
di sepuluh kitab hadis, yakni al-Kutubus-Sittah dan kitab-kitab dari
keempat tokoh mazhab fiqh (Muatta’Malik, Musnad asy-Syafi’I Musnad Ahmad,
dan Musnad yang dihimpun oleh Husain bin Muhammad bin Khusr dari
hadis-hadis riwayat Abu Hanafiah):
تاريغ الرّقة
Susunan Muhammad bin Sa‘id al-Qusyairi
تاريخد داريا
Susunan Abu ‘Abdillah ‘Abdu al-Jabbar al-Darani
(wafat 370 H).
ذكر أخبار أصبهان
Susunan Abu Nu‘aim Ah{mad bin ‘Abdillah
al-Asbahani (wafat 430 H).
تاريخ
جرجان
Susunan Abu al-Qasim Hamzah bin Yusuf al-Sahmi
(wafat 427 H).
تاريخ بغداد
Susunan Ahmad bin ‘Ali bin Sabit al-Khatib
al-Bagdadi (wafat 463 H).
9.
Kitab-kitab
yang membahas ‘illat hadis:
علل الكديث
Susunan Ibnu Abi Hatim al-Razi (wafat 328 H).
العلل وععر فة الرّ
جال
Susunan Ahmad bin Hambal
العلل
Susunan Ibnu al-Madini (wafat 234 H)
العلل-الكبير
Susunan al-Turmuzi (wafat 279 H/892 M).
العلل-الصّغير
Susunan al-Turmuzi
العلل الوارد ة فى الأحاديت
التبويّة
Susunan al-Daraqutni (wafat 385 H/995 M).[47]
Judul-judul kitab Rijal
hadis yang dikemukakan di atas lebih dari empat puluh macam. Seluruh kitab
tersebut termasuk lengkap dan ideal sekali untuk meneliti sanad hadis.
\
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Rijal al-Hadis adalah Ilmu yang
membahas tentang kedaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik
mereka dari golongan sahabat, golongan tabi’in dan tabi’it tabi’in. Dalam
pembahasan rijal al-Hadis ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu Jarh
wa al-Ta’dil, Tabaqah, dan Tarikh al-Ruwah.
2.
Untuk menetapkan Rijal al-Hadis,
memerlukan teknik, yaitu Al-Jarh didahulukan
atas al-Ta‘dil, Mengutamakan pujian drpd celaan,
Tidak menerima keritikan org daif
terhadap org siqah, Al-Jarh tidak diterima kecuali setelah
ditetapkan, dan Al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang
mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan.
3.
Segi-segi
Rijal al-Hadis yang diteliti adalah Kitab-kitab Tarikh
al-Ruwatdan Kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil
4.
Kaidah
Jarj wa al-Ta’dil ada dua yaitu
a. Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis,
sah periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdual-Kharijiyyun
atau kritik yang datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri
hadis).
b.
Berpautan
dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan
keshalihannya dan ketiadaan shalihannya, ini dinamakan Naqdu al-Dakhiliyyun
atau kritik dari dalam hadis.
5.
Maratibal-Jarh
wa al-Ta‘dil dibedakan antara Peringkat Ta‘dil dan lafal-lafalnya dan
Peringkat Jarh dan lafal-lafalnya.
6.
Adapun
sikap kritikus Hadis dalam menilai Rijal al-Hadis ada yang “ketat” (Tasyaddud),
ada yang “longgar” (Tasahud), dan ada yang berada antara kedua sikap
itu, yakni “moderat” (Tasawuf)
7.
Kitab-kitab
yang dapat dijadikan rujukan diantaranya adalah
الإستيعا
ب فى معر فة الا صا ب
كتاب
تذكرة الحقا ظ
التار
يخ الكتبير
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah &
Pengantar Ilmu Hadits, Ed.III, Cet.VIII, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2013), h.201
[2] Endang Soetari AD, Ilmu
Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1994), h.199
[3] Endang Soetari AD,
h.200
[5]Muhammad Ali Amiruddin, Ibnu
Hajar al-Asqalani Jarh dan Ta’dil Periwayan Hadits, (Makassar: Aluddin
University, 2012), h.66-67
[9]M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.72.
[13]Abdul Mawjud Muhammad
Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta‘dil, terj. A. Zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas
Para Perawi dan Pengimplementasiannya (Cet.I; Bandung: Gema Media
Pusakatama, 2003), h. 40.
[14]M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis, h. 78.
[15]Abdul Mawjud Muhammad
Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta‘dil, h. 79.
[16]M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, h. 52
[17]Bustamin dan M. Isa H.A.
Salam, Metodologi Kritik Hadis, h. 52.
[18]M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, h. 80
[21]Fathur Rahman, Ikhtiar
Mushthalahul Hadis (Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma‘arif, 1974), h. 292.
[22]Lihat, M. ‘Ajjaj al-Khatib, Usul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahahu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.225.
[25]Abdul Mawjud Muhammad
Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 29
[27]TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 327
[28]Mahmud Ali Fayyad, Manhaj
al-Muhaddisin fi Dabt al-Sunnah, diterjmahkan oleh A. Zarksy Chumaidy
(Cet.I;Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 58.
[30]Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Renaisan, 2005) h. 96.
[33]Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Mabahis,
fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul
Pengantar Studi Ilmu Hadis (cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 85.
[38]Abdul Mawjud Muhammad
Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 62.
[46]Noor Sulaiman PL.,
Antologi Ilmu Hadi. (Cet. II; Gaung Persada Press, Jakarta: 2009), h.177
[47]Lihat Mahmud at-Tahhan, Usul
at-takhrij wa Dirasat al-Asanid (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1978). h.
168-206
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis
Nabi, Cet.I;
Jakarta: Renaisan, 2005
Amiruddin, Muhammad
Ali. Ibnu Hajar al-Asqalani Jarh dan
Ta’dil Periwayan Hadits, Makassar: Aluddin University,
2012
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Ed.III,
Cet.VIII, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013
Endang
Soetari AD. Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press,
1994
Fayyad, Mahmud
Ali, Manhaj al-Muhaddisin fi Dabt al-Sunnah, diterjmahkan oleh A. Zarksy
Chumaidy, Cet.I;Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998
Ismail, M.
Syuhudi. Metodologi Penelitian hadis Nabi, Cet.I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Latif, Abdul
Mawjud Muhammad Abdul. Ilmu Jarh wa Ta‘dil, terj.
A. Zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas
Para Perawi dan Pengimplementasiannya, Cet.I; Bandung: Gema Media
Pusakatama, 2003
Lihat,
M. ‘Ajjaj al-Khatib. Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahahu Beirut:
Dar al-Fikr, 1989
Lihat
Mahmud at-Tahhan. Usul at-takhrij wa Dirasat al-Asanid Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1978
Rahman, Fathur. Ikhtiar Mushthalahul Hadis, Cet.I; Bandung: PT.
Al-Ma‘arif, 1974
Sulaiman, Noor PL. Antologi Ilmu
Hadi, Cet. II;
Gaung Persada Press, Jakarta, 2009
Syaikh Manna’
AL-Qaththan. Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi
Ilmu Hadis, cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005
Neng izin copy, sangat bermanfaat,, jazaakallah khairan katsir
BalasHapus