Langsung ke konten utama

Rijal al-hadits


PENELITIAN RIJAL AL-HADIS





MAKALAH
Dipresentasikan dalam Seminar Kelas Semester I Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar pada mata Kuliah Ulumul Hadits
OLEH
SUSILAWATI MUHARRAM
NIM: 801 002 13 180

Dosen Pemandu

PROF. DR. Hj. ANDI RASDIYANAH
DR. HJ. ASIYAH KARA, Ph.D

PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN (UIN)
MAKASSAR
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa dahulu hadist di ajarkan kepada umat Islam yaitu dari Rasulullah kepada para sahabat. Kemudian sahabat pun meriwayatkannya kepada tabi’in dengan lisan juga dengan mengandalkan daya ingat. Hal ini terjadi karena Rasulullah melarang penulisan hadits. Tentu selama kurun waktu yang begitu panjang sangat memungkinkan terjadinya kesalahan bahkan mungkin juga penyimpangan hadits. Oleh karena itu maka dengan pertimbangan ini menggugah ulama untuk mencurahkan kehidupannya mencari, mengumpulkan dan meneliti Hadits Nabi dalam kurun waktu yang lama telah tersebar ke perbagai penjuru daerah Islam yang terbentang luas. Upaya-upaya tersebut bertujuan tidak lain adalah untuk mendapatkan keyakinan bahwa hadits-hadits Nabi benar-benar berasal dari Nabi.
Untuk menentukan apakah seorang rawi dapat dipercaya atau tidak para ulama hadits menggunkan sejarah biografi para rawi tersebut. Dalam biografi dipertanyakan pula nama asli perawi, kuniah, laqab, kapan lahir dan wafatnya, di mana tempat tinggalnya, tingkatan (thabaqat) sahabat, siapa saja gurunya, murid-muridnya dan bagaimana moral serta intelektualnya.
Pada perkembangannya penelitian biografi para perawi hadits tidak hanya pada perawi saja yang terlibat dalam sanad hadits, tetapi juga kepada para pengkritik perawi dalam sanad.
B.   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus bahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu al-Jarh Wa Ta‘dil?
2.      Bagaimana teknik penetapan Rijal al-Hadis?
3.      Segi-segi apa saja yang diteliti terhadap Rijal al-Hadis?
4.      Bagaimana kaedah al-Jarh Wa Ta‘dil?
5.      Bagaimana bentuk Maratib al-Jarh Wa Ta‘dil?
6.      Bagaimana sikap kritikus hadis dalam menilai Rijal al-Hadis?
7.      Kitab-kitab apa saja yang dapat dijadikan rujukan?
C.   Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1.      Apa pengertian ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu al-Jarh Wa Ta‘dil?
2.      Bagaimana teknik penetapan Rijal al-Hadis ?
3.      Segi-segi apa saja yang diteliti terhadap Rijal al-Hadis?
4.      Bagaimana kaedah al-Jarh Wa Ta‘dil?
5.      Bagaimana bentuk Maratib al-Jarh Wa Ta‘dil?
6.      Bagaimana sikap kritikus hadis dalam menilai Rijal al-Hadis?
7.      Kitab-kitab apa saja yang dapat dijadikan rujukan?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Rijal Al-Hadis dan Jarh wa at-Ta’dil

Dalam penelitian rijal al-Hadis ada dua pokok pembahasan yang akan dikaji yaitu tentang Tabaqah dan tarikh al-Ruwah.
Pertama, Ilmu rijal al-Hadis ialah
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ  عَنْ أحْوَالِ الزُوَاةُ وَ سِيرِهِمْ مِنَ الصَّحَابَةِ وَ التَّابِعِينَ وَ أتْبَاعِ أتْبَاعِهِمْ
Terjemahnya
“Ilmu yang membahas tentang kedaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari golongan sahabat, golongan tabi’in dan tabi’it tabi’in.”[1]

Kedua, Tabaqah adalah
عِلْمٌ يَبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كُلِّ جَمَاعَةٍ تَشْتَرِكُ فِيْ أمْرِ وَاحِدٍ
Terjemahnya
“ilmu yang membaas tentang kelompok orang yang berserikat dalam satu pengikut yang sama”[2]

Ketiga, Tarikh al-Ruwah

Tarikh al-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biograi para perawi yang menjelaskan tentang nama dan gelar, tanggal dan tempat kelahiran, keturunan, guru, murid, jumlah hadits yang diriwayatkan, tempat dan waktu, dan lain-lain.[3]

Dari pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa ilmu Rijal al-Hadits merupakan ilmu yang memiliki kedudukan yang tinggi nilainya, besar pengaruhnya dan sangat diperlukan. Dalam hadits ada yang disebut sanad dan matan. Sanad adalah perawi, kebenaran sebuah hadits berdasarkan sanad-nya dapat diterima atau di tolak, shahih atau tidak. Jadi sanad merupakan separuh dari ilmu hadits.
Mengenai pentingnya sanad ini, Muslim dan Ibnu Sirin meriwayatkan bahwa :

هَذَا العِلْمُ دِيْنٌ فَا نْظُرُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيِنَكُمْ
Terjemahnya
“Ilmu ini (hadits) ialah agama, karenanya telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari padanya.”[4]
Sanad merupakan tempat kembali dan pokok pangkal Tasyri’i Islami (perundang-undangan Islam). Karena banyak hukum yang bersumber dari hadits dan hadits juga menjelaskan ayat-ayat yang mujmal.
Jarh secara etimologi ialah melukai atau tidak bisa dipercaya, sedangkan secara terminologi Jarh adalah upaya untuk mengungkapkan keadaan para periwayat hadis, yang periwayatannya mungkin menyebabkan ketidak nyamanan atau penilaian rendah.[5]
Ta’dil berasal dari kata ‘adl yang berarti situasi dalam jiwa yang menunjukkan bahwa orang tersebut adalah jujur dan dapat dipercaya.[6] Ta’dil dalam ilmu hadis didefinisikan sebagai upaya untuk memperlihatkan berbagai alasan untuk menerima periwayatan dari periwayat-periwayat tertentu.[7]
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang yang membahas tentang segala hal yang berkaitan dengan perawi mengenai kelebihan dan kekurangannya. Hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Sanad itu ialah para perawi, dengan sanadlah mana yang diterima, mana yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak. Dialah jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Dengan demikian, mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh pengetahuan.[8]
Para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat Nabi sampai generasi mukharrijul hadis (periwayat dan sekaligus penghimpun hadis) tidak dapat dijumpai secara fisik), karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan hadis, diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik Rijal (periwayat) hadis.[9]
Pengetahuan yang membahas berbagai hal yang berhubungan dengan perawi hadis, tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela.[10]
Tujuan ilmu rijal al-hadith yaitu untuk mengetahui dan meneliti keadaan ( hal ihwal) tokoh-tokoh dalam sanad hadith dapat diterima atau tidak.Urgensi dikuasainya ilmu ini karena di dalamnya membahas tentang periwayat hadith yang dapat menentukan status sanad hadith. Jika perawi dalam sanad itu muttasil dan tsiqah pada setiap tingkatannya maka periwayatannya sudah dapat diterima meskipun belum final.
Sebagai contoh urgensi ilmu ini adalah, disebutkan bahwa Umar bin Khathab melarang dan membakar tulisan – tulisan hadith dan sampai memukul sahabat Abu Hurairah. Riwayat yang menyebutkan bahwa Umar pernah menyebarkan edaran ke berbagai daerah agar orang – orang membakar tulisan hadith adalah bersumber dari orang yang bernama Yahya bin Ja’d. Dan setelah diteliti, sanadnya terputus sehingga tidak dapat pertimbangkan sebagai argumen yang shahih. Begitu juga riwayat yang mengatakan bahwa Umar pernah memukul Abu Hurairah. Riwayat ini setelah diteliti ternyata palsu, karena bersumber dari seorang Syi’ah yang justru anti sahabat, khususnya Umar. Karenanya riwayat seperti ini juga gugur dari pertimbangan. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Syeikh Abdullah bin Mubarak wafat 181 H, sistem sanad adalah merupakan bagian dari agama Islam, sebab seandainya tidak ada sanad maka setiap orang dapat mengatakan apa saja dengan menisbahkan kepada Nabi saw.
B.   Teknik Menetapkan Rijal al-Hadis
Para ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu teknik atau teori agar penelitian terhadap periwayat hadis dapat lebih objektif. Adapun teknik yang ditetapkan sebagai berikut:
1.    Al-Ta‘dil didahulukan atas al-Jarh
Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercelah oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah kritikan yang bersifat pujian. Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji. Sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Oleh karena itu, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya.  Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam al-Nasa’i (w. 303 H/915 M), namun pada umumnya ulama hadis tidak menerima teori tersebut, karena kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya, sedang kritikus yang mengemukakan celaan adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya.[11]



2.      Al-Jarh  didahulukan atas al-Ta‘dil
Maksudnya, bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan.
Alasannya adalah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Dan dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis, dan persangkaan baik itu harus “dikalahkan” bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimilikioleh periwayat yang bersangkutan. Pendukung teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama ushul fiqh.[12]
Dikatakan oleh Imam Ahmad, “setiap rawi yang telah ditetapkan ‘Adalah-nya tidak akan diterima pen-tarjih-an dari seseorang kecuali telah betul-betul dan terbukti bahwa keadaan rawi itu mengandung sifat Jarh.”[13]
3.      Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.[14]
Maksudnya, apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang yang bersangkutan.
Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.
Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis. Namun, sebagian dari mereka ada yang menyatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan haruslah relevan dengan upaya penelitian. Dan bila kritikus yang memuji telah mengetahui juga sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa sebab-sebab ketercelaannya itu memang tidak relevan, maka kritikannya yang memuji tersebut yang harus dipilih.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kontradiktif antara Jarh dan ta‘dil hanya bisa terjadi bila betul-betul tidak ditemukan jalan penyelesaiannya. Sedangkan kontradiktif yang masih memungkinkan dihilangkan tidak dikatakan kontradiktif, bahkan bisa ditempuh cara lain yaitu Tarjih.[15](dicari yang lebih unggul).
Seperti seorang rawi di-Rajh dengan penilaian fasik karena diketahui kefasikannya, tetapi taubat rawi itupun diketahui. Dengan demikian, rawi tersebut tidak termasuk Jarh atau berdusta pada Rasulullah.
4.      Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong Da’if, maka kritikannya terhadap orang yang Siqah tidak diterima.[16]
Maksudnya, apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak Siqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang Siqah, maka kritikan orang tersebut harus ditolak.Alasannya, orang yang bersifat Siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak S|iqah, dalam hal ini dapat dikemukakan pernyataan al-‘Araj (w.117 H)[17] berkata bahwa Abu Hurairah banyak menerima hadis dari Nabi Muhammad saw, selalu hadir pada majlis Nabi Muhammad saw. dan tidak akan lupa apa yang telah didengarnya dari Nabi Muhammad saw. Pernyataan al-‘Araj menunjukkan bahwa Abu Hurairah merupakan periwayat hadis yang Siqah.
5.      Al-Jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.[18]
Maksudnya, apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecualidapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut.Alasanya, suatu kritikan harus jelas sasarannya agar terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan.
6. Al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan.[19]
Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusushan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.[20]
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing, maka menurut penulis, yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih objektif terhadap para periwayat hadis baik yang berhubungan dengan intergritas kepribadiannya maupun kapasitas intelektualnya.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa apabila seorang rawi diJarh oleh para ahli kritik yang Siqah sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima.


C.     Segi-segi Rijal al-Hadis yang Diteliti
Para ulama hadis, dalam melakukan penelitian Rijal al-hadis menggunakan metode yang beragam. Untuk memberikan gambaran tentang kegiatan penelitian mereka dapat dilihat dalam bentuk buku:
1.      Kitab-kitab Tarikh al-Ruwat
Dalam kitab Tarikh al-Ruwat ini berisi sejarah perawi-perawi hadis. Membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa yang pernah mengambil hadis dari padanya. Dan diterangkan pula dimana dan kapan ia wafat.[21]
Untuk menulis kitab Tarikh al-Ruwat, ulama menggunakan metode berikut:
a.       Mengelompokkan perawi berdasarkan angkatan tertentu yang disebut Tabaqat.
b.      Menyusun periwayat berdasarkan tahun, dalam hal ini penulisnya menyebutkan tahun wafat perawi, lalu menulis biografinya dan riwayat yang disampaikan. Ini dapat dilihat dalam kitab Tarikh al-Islam oleh al-Zahabi.[22]
c.       Menyusun periwayat secara alfabetis, metode seperti ini sangat membantu para penulis yang membahas apara periwayat hadis.
d.      Menyusun periwayat berdasarkan negeri, penulisnya mengemukakan para ulama dari satu negeri dan mengemukakan keutaman suatu negeri, kemudian menyebutkan para sahabat yang ada disana, menjadikannya tempat tinggal atau hanya sekedar lewat saja, lalu menyebutkan semua periwayat secara alfabetis.
e.       Menyususn berdasarkan Asma' (nama asli) perawi Kunna, Alqab Ansab (keturunan), dan berdasar Ikhwah dan Akhwat (saudara laki-laki dan saudara perempuan).
2.      Kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil
Sehubungan dengan kitab Tarikh al-Ruwat, kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil memberi informasi tentang kualitas pribadi seorang perawi, baik dari segi integritas kepribadiannya maupun dari segi kapasitas intelektualnya.Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa usaha para ulama hadis dalam mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan penelitian terhadap Rijal al-Hadis adalam dalam rangka memberikan justifikasi tentang kredibilitas para perawi hadis, dan juga sebagai upaya untuk mengenal lebih dekat para periwayat hadis agar dapat mengetahui lebih rinci tentang kondisi periwayat tersebut, Sehingga dapat menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadis.
D.  Kaidah al-Jarh wa Ta‘dil
Jarh menurut bahasa berarti luka. Kata Jarh lebih banyak digunakan dalam bentuk abstrak (non fisik) dan juga dalam bentuk konkrit (fisik). [23]
Menurut istilah, Jarh adalah penolakan seorang rawi yang hafal (hafiz) dan kuat daya ingatnya (mutqin’)terhadap periwayatan perawi karena adanya cacat yang mencederakan atau terhadap periwayat rawi fasik, rawi tadlis, rawi pendusta, rawi syaz,dan lain sebagainya.[24]
Jadi Jarh itu adalah pengungkapan kecacatan perawi hadis. Dengan pengungkapannya itu bisa menggunakan periwayatannya karena hal itu merupakan cacat dalam segi ‘adalah (keta’dilan) atau cacat dalam segi ke-dabit-an mereka.
Adapun Ta‘dil menurut bahasa mempunyai beberapa arti: 1) menegakkan, misalnya orang menegakkan hukum; 2) membersihkan, misalnya orang membersihkan sesuatu; 3) membuat seimbang, misalnya orang membuat seimbang dalam penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil mempunyai tiga pengertian, yaitu menegakkan (al-taqwin), membersihkan (al-tazkiyah) dan membuat seimbang (al-taswiyah).[25]
Menurut istilah, Ta‘dil adalah menyebutkan tentang keadaan rawi yang diterima periwayatannya.Hal ini merupakan gambaran terhadap sifat-sifat seorang rawi yang diterima.[26]
Sementara itu, TM. Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
وصف الرّ اوي بصفات تو جب عدالتي هي مداو الفبول لرو اليته
Terjemahnya:
Mendefinisikan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya.[27]

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa menetapkan ke-Ta‘dil-an atau Jarh kepada seseorang memegang peranan yang sangat penting, bahkan menurut Mahmud ‘Ali Fayyad, menetapkan ke-Ta‘dil-an itu sama dengan persaksian terhadap bersihnya seorang perawi, dan menetapkan Jarh itu sama dengan menetapkan bahwa seorang perawi yang di-Jarh itu tidak bermoral berdasarkan bukti-bukti kecacatan seseorang, betapa pentingnya persaksian ini karena pengalaman sunnah itu bergantung kepadanya.[28]
Dalam hubungan inilah perlunya kaedah al-Jarh wa Ta‘dil.Kaedah-kaedahJarh dan Ta‘dil adalah sebagai berikut:
1.      Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis, sah periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdual-Kharijiyyun atau kritik yang datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri hadis).
2.      Berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan keshalihannya dan ketiadaan shalihannya, ini dinamakan Naqdu al-Dakhiliyyun atau kritik dari dalam hadis.[29]
Dalam kaitannya dengan keadaan para periwayat, ulama ahli hadis telah menyusun peringkat para periwayat dilihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka. Ulama ahli hadis tidak sepakat tentang jumlah peringkat yang berlaku untuk al-Jarh wa al-Ta‘dil.Sebagian ulama membagi menjadi empat peringkat, ada juga yang membagi menjadi lima peringkat, dan yang lain membagi menjadi enam peringkat.[30]
Menurut Arifuddin Ahmad, perbedaan jumlah peringkat bagi para periwayat hadis mengenai al-Jarh wa al-Ta‘dil, sedikitnya disebabkan oleh tiga hal yaitu: (a) karena terdapat perbedaan pandangan dalam penetapan bobot kualitas terhadap periwayatan tertentu; (b) karena terdapat perbedaan lafal untuk penyifatan kualitas periwayat yang sama; (c) karena dari kalangan ulama ada yang tidak konsisten dalam menyifati periwayat tertentu.[31]
Dengan demikiandapat ditegaskan bahwa kritik terhadap para periwayat, para ulama ahli hadis cukup hati-hati, baik dari segi keterpujian maupun dari segi ketercelaan.
Adapun kritik dari dalam hadis (Naqdu al-Dakhiliyyun), Arifuddin Ahmad menegaskan bahwa apabila argumen-argumen yang diujikan untuk matan hadis bersangkutan telah memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, maka matan hadis bersangkutan adalah sahih. Sebaiknya, apabila argumen-argumen yang diajukan tidak memenuhi kaidah kesahihan matan, maka matan hadis bersangkutan adalah daif  pula. [32]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditegaskan bahwa, apabila penelitian itu dilakukan secara cermat dan menggunakan pendekatan yang tepat maka dapat dipastikan bahwa setiap sanad yang sahih pasti memiliki matanyang sahih, sebab adanya Syaz dan atauIllat pada matan tidak terlepas dari kelemahan pada sanad, hal ini disebabkan pendekatan yang digunakan dalam mengambil natijah terhadap penelitian sanad ataupun matan kurang tepat. Misalnya sikap yang longgar dalam menilai seorang periwayat, penelitian terhadap lambang-lambang periwayatan yang kurang cermat dan matan hadis yang diteliti tampak bertentangan dengan matan hadis atau dalil lain yang lebih kuat dinyatakan sebagai hadis yang Daif, padahal hadis yang bersangkutan mungkin sifatnya berbeda,yang satu bersifat universal dan yang lain bersifat temporal atau lokal.Kekeliruan disebabkan oleh kesalahan menggunakan pendekatan penelitian.
E.   Maratibal-Jarh wa al-Ta‘dil
Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilan dan ke-dabit-an. Diantara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah.
Oleh karena itu, para ulama menetapkan tingkatan Jarh dan Ta‘dil. Dan lafal-lafa yang menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga tingkatan Ta‘dil ada enam tingkatan, dan tingkatan Jarh ada enam juga.[33] Hal ini ditegaskan pula oleh al-Sakhawi dengan membuat tingkatan al-Jarhdan al-Ta‘dil menjadi enam tingkatan.[34]
Inilah urutan (tartib) tingkatan al-Jarh dan al-Ta‘dil dengan menggunakan bentuk genap (berpasangan) secara bertingkat mulai dari bentuk al-Ta‘dil yang paling kuat sampai yang terlemah, dan mulai dari bentuk al-Jarh}yang paling lemah sampai dengan yang paling kuat.
1.      Peringkat Ta‘dil dan lafal-lafalnya
Tingkat pertama: yang menggunakan bentuk superlatif dalam pen-Ta‘dil-an atau dengan menggunakan wazan “af ‘ala”[35]yang menunjukkan arti “sangat” dalam kepercayaan, seperti ucapan:
a. اوثق النا س                     = orang yang paling dipercaya
b.  اثبت الناس                     = orang yang paling teguh
c.  اليه المنتهى فى التثبيت        = orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya[36]
Tingkat kedua: dengan mengulang-ulang lafal ‘adalah dua kali atau lebih baik yang diulangnya itu, bentuk lafalnya sendiri, seperti ثبت ثبت =orang yang teguh lagi teguh, atau yang diulangnya itu dalam bentuk maknanya seperti ucapan mereka ثقة حجّة= orang yang dipercayai lagi pula hujjah dan ثقة ثبت = orang yang dipercayai lagi pula teguh.[37]
Setiap pengulangan lafal yang lebih banyak, itu menunjukkan atas kuatnya tingkatan rawi di dalam segi ‘adalah-nya.
Tingkatan ketiga: yaitu lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawiyang mencerminkan ke-Dabit-an, atau menunjukkan adanya pen-Siqah-an tanpa adanya penguatan atas hal itu. Seperti ucapan:  ثبت= orang yang teguh (hati dan lidahnya),  ثقة= orang yang Siqah,  حجّة=seorang tokoh, dan,  متقن=orang yang meyakinkan (ilmunya).[38]
Tingkatan keempat: yaitu lafal-lafal yang menunjukkan kepada tingkatan perawi yang tidak mencerminkan ke-Dabit-an penuh, atau yang menunjukkan adanya keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti ucapan صدوق = jujur,  لاباس با=tidak mengapa dengannya, menurut selain Ibnu Ma‘in, sebab menurut ibnu Ma’in kalimat ‘adalahSiqah, kemudian لاباسبا= Siqah.kemudian خيارالناس= orang pilihan. Imam al-Sakhawi berkata setelah menyebutkan tingkatan-tingkatan Ta‘dil sebagai berikut” sesungguhnya penetapan pada ahli tingkatan-tingkatan yang dijadikan hujjah dengan keempat tingkatan yang pertama, diantaranya.”[39] Ucapannya bersesuaian dengan kelompok Mu‘tadilin ulama al-arh wa al-Ta‘dil. Para pengkaji mengetahui bahwa sebagian ulama mengemukakan bahwa pemilik tingkatan keempat, hadisnya ditulis, diperhatikan, dan diberitahukan  sehingga diketaui ke-Dabit-annya.
Tingkatan kelima: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan perawi yang terlintas persyaratan Dabit, tetapi lebih kecil ke-Dabit-annya daripada tingkatan keempat. Seperti ucapannya:[40]
= sesuatu mendekati hadisnya.                                                     ما اقرب حديثه
= hadisnya baik                                                                               صالح الحديث
 = guru yang  baik                                                                            شيخ صالح
Tingkatan keenam yaitu: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawi yang memilki sifat-sifat ‘adalah yang tidak kuat seperti ucapan:[41]
= insya Allah dia jujur                                                                    صدوق ان شاءالله
= orang yang diharapkan Siqah atau tidak cacat.                           ارجو ان لا باس با
=orang yang sedikit kesalihannya.                                                 صوبلح
= ditulis hadisnya, dan                                                                    يكتب حديثه
= dii’tibarkan hadisnya  (hanya untuk dipertimbangkan hadisnya)يعتبر به
Adapun hukum tingkatan ini menurut Syaikh Manna al-Qattan adalah:
a.       Untuk tiga tingkatan yang pertama, dapat dijadikan hujjah, tetapi meskipun sebagian besar mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
b.      Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji ke-Dabit-an mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para S|iqah yang Dabit, jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan hujjah, jika tidak sesuai maka ditolak, meskipun dia dari tingkatan kelima yang lebih rendah dari tingkatan keempat.
c.       Sedangkan tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertambangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka tidak Dabit.
d.      Dengan demikian dapat dtegaskan bahwa rawi-rawi yang ditolak hadisnya untuk dijadikan hujjah, dalam segi keagamaannyaialah orang-orang baik dan ‘Adalah, namun ketercelaanya hanyalah dari segi ke-Dabit-annyasaja (daya hafal dan daya ingat) kurang baik.[42]

2.      Peringkat Jarh dan lafal-lafalnya.
Tingkatan pertama: yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-Jarh (kritikan) seperti:
 لين الحديت= lemah hadisnya, atau فيه مقال= adanya ada kelemahan, dan  او تى  مقا ل فيه=di dalamnya pembicaraan yang paling rendah.
Tingkat kedua:  yang menunjukkan adanya kelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, seperti: لايحتجّ با=tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya, serta منكر الحديت= hadis yang ditolak dan juga له منا كير= memiliki hadis-hadis munkar.
Tingkatan ketiga: yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis hadisnya seperti; ضعيف جدّا= lemah sekali, لايكتب حديصث= tidak dicatat hadisnya,طرح الحديثه= hadisnya dibuang, مر دود الحديث= hadisnya ditolak.
Tingkatan keempat:yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan     hadis, seperti; متهم بالكذب= tertuduh bohong, متروك الحديث= hadisnya ditinggikan; ليس بالقوى tidak kuat, فيه نظر= perlu diteliti hadisnya.
Tingkatan kelima: yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya, seperti;  كذاب=orang yang pembohong; وضّاع = orang yang pendusta atau pemalsu hadis;يكذب=orang yang berbohong.
Tingkatan keenam: yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan, seperti;
= orang yang paling bohong                                           فلان اكذب الناس
= orang yang paling dusta                                              أوضع الناس
اليه المنتهى فى الو ضع       = orang yang paling top kedustaanya[43]
F.  Sikap Kritikus Hadis dalam Menilai Rijal al-Hadis
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik hadis ada yang “ketat” (Tasyaddud), ada yang “longgar” (Tasahud), dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni “moderat” (Tasawuf).[44]
Ulama yang dikenal sebagai Mutasyaddid ataupun Mutasahhil, ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan hadis. Al-Nasa’i (wafat 303 H/915 M) dan ‘Ali bin ‘Abdillah bin Ja‘far al-Sa‘di al-Madini (wafat 234 H/849 M) dikenal sebagai Mutasyaddid dalam menilai kesigatan periwayat, yang berarti juga dalam menilai kesahihan suatu hadis.
Selanjutnya, Al-Hakim al-Naisaburi (Wafat 911 H/1505 M) dikenal sebagai Mutasahhil dalam menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan al-Zahabi (wafat 748 H/1348 M) dikenal sebagai Mutawassit dalam menilai periwayat dan kualitas hadis. penggolongan ini bersifat umum dan tidak untuk setiap penelitian  yang mereka hasilkan.[45]
Dengan adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam menilai periwayat dan kualitas hadis tersebut, berarti bahwa dalam penelitian hadis yang nilai tidak hanya para periwayat hadis saja, tetapi juga para kritikusnya, dan sekiranya terjadi perbedaan dalam mengetik, maka sikap kritikus harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan isi kritik yang lebih obyektif.
Dalam hubungan ini, ulama telah mengemukakan beberapa syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-Mujarrah wa al-Muaddil;
1.   Alim
2.   Bertaqwa
3.   Wara’
4.   Jujur
5.   Tidak terkena Jarh
6.   Tidak fanatik terhadap sebagai perawi
7.   Memahami dengan baik sebab-sebab Jarh.[46]
G.  Kitab-kitab Rujukan
Berikut ini dikemukakan kitab-kitab Rijal dengan lebih mengacu kepada susunan yang dikemukakan oleh Mahmud al-Tahhan.
1.      Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi
الإستيعا ب فى معر فة الا صا ب
Susunan Ibnu ‘Abdi al-Barr (wafat 463 H/1071 M).
اسد الفا فى معر فة الصّحابة
Susunan ‘Izzu al-Din Ibnu al-Asir (wafat 630 H/ 1232 M).
الإصابا فى تميين الصّحابة
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/ 1449 M).
2.    Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadis yang disusun berdasarkan tingkatan para periwayat (Tabaqatu al-ruwah) dilihat dari segi tertentu:
اطلبقات الكبر ى
Susunan Ibnu Sa‘ad (wafat 230 H).
كتاب تذكرة الحقا ظ
Susunan Muhammad bin Ah}mad al-Zahabi (wafat 748 H/ 1348 M).
3.      Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis secara umum:
التار يخ الكتبير
Susunan al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M).
الجدح والتعديل
Susunan Ibnu Abi Hatim al-Razi (wafat 328 H).
4.      Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk kitab-kitab hadis tertentu:
الهد اية و الارشاد فى معر فة أهل التفة و السداد
Susunan Ahmad bin Muhammad al-Kalabazi (wafat 318 H).
التذكر ة بر جال العشرة
Susunan Muhammad bin ‘Ali al-Husaini (wafat 765 H).
Kitab yang membahas para periwayat hadis di kitab-kitab hadis dari keempat tokoh mazhab fiqhi yang tidak dijelaskan oleh Tahzibul-Kamal karya al-Mizzi di atas.
تعجيل المذفعة بزواند ر جال الأ نمة الأربعة
Susunan Ibnu Hajar al-’Asqalani.

5.      Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis:
a)      Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat yang nilai berkualitas Siqah oleh penyusunnya:
كتاب التفات
Susunan Abual-Hasan Ahmad bin’Abdilah al-‘Ijli (wafat 261 H)
كتاب التفات
Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti (wafat 354 H / 965 M)
تاريخ أسماء ا التفات ممن نقل عنهم العلم
Susun an ‘Umar bin Ahmad bin Syahin (wafat 383 H).
b)      Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat yang dinilai lemah (Da’if) oleh penyusunnya:
اضعفاء- الكبير
Susunan al-Bukhari
الضّعفاء – الصّغير
Susunan al-Bukhari
الضعفاء والمتروكون
Susunan al-Nasa’i.
كتاب الضّعفاء
Susunan Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-Uqaili (wafat 323 H).
معر فة المجر و حين من المحدّشين
Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al Busti.
c)        Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat hadis yang kualitas mereka dipersoalkan:
الكا مل فى ضعفاء الرّ جال
Susunan Abu Ahmad ‘Abdullah
ميز ان الإ عتد ال فى نقد الرّجال
Susunan Muhammad bin Ahmad al-Zahabi.
اسان الميز ان
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani
6.      Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis berdasarkan Negara asal mereka:
تاريخ اسط
Susunan Bahsyal (Abu al-Hasan Aslam bin Syah al-Wasiti (wafat 288 H)
مختصر طبقات علماء افر يقيّة وتو نس
Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Sahih al-Bukhari.
رجال صحيح مسلم
Susunan Ahmad bin ‘Ali al-Asfahani (wafat 428 H).
الجمع بين رجال الصّحين
Susunan Ibnu al-Qaisarani (Muhammad bin Tahir ar-Maqdisi) (wafat 507H).
Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.
التعر يف بر جال السو طا
Susunan Muhammad bin Yahya al-Tamimi (wafat 416 H).
Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Muatta’Malik
7.      Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis al-Kutubu al-Sittah  (enam macam kitab hadis standar, yakni Sahih al-Bukhari SahihMuslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah):
الكمال فى أسماء الرّجال
Susunan ‘Abdu al-Gani al-Maqdisi (wafat 600 H). kitab tersebut merupakan perintis kitab Rijal yang membahas para periwayat al-Kutubus Sittah. Kitab-kitab yang berisi penyempurnaan
تهديب الكمال
Susunan Abu-Hajjaj Yusuf bin al-Zaki al-Mizzi (wafat 742 H)
اكمال تهذيب الكمال
Susunan ‘Ala al-Din Muglataya (wafat 762 H).

تذهيب الهذيب
Susunan Muhammad bin Ahmad al-Zahabi (wafat 748 H/1348 M).
الكاشف فى معر فة من له رواة فى الكتب السّتة
Susunan Muhammad bin Ahmad al-Zahabi.
تهذيب التهذيب
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/1449 M).
تقر يبالتهذيب
Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
خلاصة تذهيب تهذيب الكمال
Susunan Saifu al-Din Ahmad ‘Abdillah al-Khazrahji (wafat 924 H).
8.        Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis di sepuluh kitab hadis, yakni al-Kutubus-Sittah dan kitab-kitab dari keempat tokoh mazhab fiqh (Muatta’Malik, Musnad asy-Syafi’I Musnad Ahmad, dan Musnad yang dihimpun oleh Husain bin Muhammad bin Khusr dari hadis-hadis riwayat Abu Hanafiah):
تاريغ الرّقة
Susunan Muhammad bin Sa‘id al-Qusyairi
تاريخد داريا
Susunan Abu ‘Abdillah ‘Abdu al-Jabbar al-Darani (wafat 370 H).
ذكر أخبار أصبهان
Susunan Abu Nu‘aim Ah{mad bin ‘Abdillah al-Asbahani (wafat 430 H).
تاريخ جرجان
Susunan Abu al-Qasim Hamzah bin Yusuf al-Sahmi (wafat 427 H).
تاريخ بغداد
Susunan Ahmad bin ‘Ali bin Sabit al-Khatib al-Bagdadi (wafat 463 H).
9.    Kitab-kitab yang membahas ‘illat hadis:
علل الكديث
Susunan Ibnu Abi Hatim al-Razi (wafat 328 H).
العلل وععر فة الرّ جال
Susunan Ahmad bin Hambal
العلل
Susunan Ibnu al-Madini (wafat 234 H)
العلل-الكبير
Susunan al-Turmuzi (wafat 279 H/892 M).
العلل-الصّغير
Susunan al-Turmuzi
العلل الوارد ة فى الأحاديت التبويّة
Susunan al-Daraqutni (wafat 385 H/995 M).[47]
Judul-judul kitab Rijal hadis yang dikemukakan di atas lebih dari empat puluh macam. Seluruh kitab tersebut termasuk lengkap dan ideal sekali untuk meneliti sanad hadis.



\



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Rijal al-Hadis adalah Ilmu yang membahas tentang kedaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari golongan sahabat, golongan tabi’in dan tabi’it tabi’in. Dalam pembahasan rijal al-Hadis ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu Jarh wa al-Ta’dil, Tabaqah, dan Tarikh al-Ruwah.
2.      Untuk menetapkan Rijal al-Hadis, memerlukan teknik, yaitu Al-Jarh  didahulukan atas al-Ta‘dil, Mengutamakan pujian drpd celaan, Tidak menerima keritikan org daif terhadap org siqah, Al-Jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan, dan Al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan.
3.      Segi-segi Rijal al-Hadis yang diteliti adalah Kitab-kitab Tarikh al-Ruwatdan Kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil
4.      Kaidah Jarj wa al-Ta’dil ada dua yaitu
a.       Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis, sah periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdual-Kharijiyyun atau kritik yang datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri hadis).
b.      Berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan keshalihannya dan ketiadaan shalihannya, ini dinamakan Naqdu al-Dakhiliyyun atau kritik dari dalam hadis.
5.      Maratibal-Jarh wa al-Ta‘dil dibedakan antara Peringkat Ta‘dil dan lafal-lafalnya dan Peringkat Jarh dan lafal-lafalnya.
6.      Adapun sikap kritikus Hadis dalam menilai Rijal al-Hadis ada yang “ketat” (Tasyaddud), ada yang “longgar” (Tasahud), dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni “moderat” (Tasawuf)
7.      Kitab-kitab yang dapat dijadikan rujukan diantaranya adalah
الإستيعا ب فى معر فة الا صا ب
كتاب تذكرة الحقا ظ
التار يخ الكتبير








[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Ed.III, Cet.VIII, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013), h.201
[2] Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1994), h.199
[3] Endang Soetari AD, h.200
[4]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, h. 202
[5]Muhammad Ali Amiruddin, Ibnu Hajar al-Asqalani Jarh dan Ta’dil Periwayan Hadits, (Makassar: Aluddin University, 2012), h.66-67
[6] Muhammad Ali Amiruddin, Ibnu Hajar al-Asqalani Jarh dan Ta’dil Periwayan Hadits , h. 67
[7] Muhammad Ali Amiruddin, Ibnu Hajar al-Asqalani Jarh dan Ta’dil Periwayan Hadits , h. 67
[8]T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits , h. 132.
[9]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.72.
[10]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi , h.72
[11]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi , h. 77
[12]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi , h. 78.
[13]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta‘dil, terj. A. Zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya (Cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003), h. 40.
[14]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, h. 78.
[15]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta‘dil, h. 79.
[16]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52
[17]Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h. 52.
[18]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 80
[19]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.81
[20]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.81
[21]Fathur Rahman, Ikhtiar Mushthalahul Hadis (Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma‘arif, 1974), h. 292.
[22]Lihat, M. ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahahu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.225.
[23]M.Rasir Ibrahim, kamus Arab-Indonesian, h. 28
[24]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 28
[25]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 29
[26]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h.29
[27]TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 327
[28]Mahmud Ali Fayyad, Manhaj al-Muhaddisin fi Dabt al-Sunnah, diterjmahkan oleh A. Zarksy Chumaidy (Cet.I;Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 58.
[29]TM. Hasbi Ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 327
[30]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Renaisan, 2005) h. 96.
[31]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h.96
[32]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nab, h. 128
[33]Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis (cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005),      h. 85.
[34]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 60.
[35]Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Mabahis, fi Ulumil Hadis, h. 88.
[36]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h.60
[37]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 61
[38]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 62.
[39]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 64
[40]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 65
[41]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 67
[42]Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Mabahis, fi Ulumil Hadis, h. 89
[43]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 68-73
[44]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.74
[45]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nab, h.75
[46]Noor Sulaiman PL., Antologi Ilmu Hadi. (Cet. II; Gaung Persada Press, Jakarta: 2009), h.177
[47]Lihat Mahmud at-Tahhan, Usul at-takhrij wa Dirasat al-Asanid (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1978). h. 168-206

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Cet.I; Jakarta: Renaisan, 2005
Amiruddin, Muhammad Ali. Ibnu Hajar al-Asqalani Jarh dan Ta’dil Periwayan Hadits, Makassar: Aluddin University, 2012

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Ed.III, Cet.VIII, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013

Endang Soetari AD. Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1994
Fayyad, Mahmud Ali, Manhaj al-Muhaddisin fi Dabt al-Sunnah, diterjmahkan oleh A. Zarksy Chumaidy, Cet.I;Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian hadis Nabi, Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Latif, Abdul Mawjud Muhammad Abdul. Ilmu Jarh wa Ta‘dil, terj. A. Zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya, Cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003

Lihat, M. ‘Ajjaj al-Khatib. Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahahu Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Lihat Mahmud at-Tahhan. Usul at-takhrij wa Dirasat al-Asanid Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1978

Rahman, Fathur. Ikhtiar Mushthalahul Hadis, Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma‘arif, 1974
Sulaiman, Noor PL. Antologi Ilmu Hadi, Cet. II; Gaung Persada Press, Jakarta, 2009

Syaikh Manna’ AL-Qaththan. Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis, cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005



Komentar

  1. Neng izin copy, sangat bermanfaat,, jazaakallah khairan katsir

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL BAHASA ARAB KLS X

PEMERINTAH KOTA PAREPARE DINAS PENDIDIKAN SMA NEGERI 2 PAREPARE Alama : Jalan Jend. Sudirman No.31 Tlp.(0421) 21982 – 21674.  E-Mail : smada_parepare@yahoo.co.id SOAL ULANGAN SEMESTER I TAHUN AJARAN 2013-2014 Kelas                           : X Akselerasi Mata Pelajaran            : Bahasa Arab Hari/ Tanggal  : Kamis, 07 November 2013 Waktu                         : 11.45 – 13.45 Petunjuk : 1.       Berdo’alah sebelum mengerjakan soal-soal! 2.       Beca dengan teliti soal-soal sebelum menentukan jawaban! 3.       Jangan lupa isi identitas Anda! 4.       مَعَ النَّجَحِ A.    Pilihan Ganda 1.         Berapakah jumlah huruf Hijayyah ? a.        20                                           c. 28 b.       30                                           d. 25 2.         Apa yang dimaksud dengan اَلْكَلِمةُ ? a.          Kata                                      c. Kata kerja b.          Kalimat                     

Pemikiran Islam: Faktor internal & eksternal

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Berbicara  ruang lingkup Pemikiran Islam , maka tidak terlepas dari mana Islam tersebut lahir. Tanah Arab adalah cikal bakal tumbuh dan berkembangnya agama Islam, sehingga untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pemikiran Islam, maka perlu kiranya menelisik sumber aslinya hingga masa sekarang. Ketika masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, masalah-masalah yang timbul di kalangan masyarakat diselesaikan oleh wahyu, atau oleh Nabi Muhammad sebagai manusia yang memperoleh otoritas tasyri (menetapkan hukum). Dengan bergulirnya waktu sejarah umat Islam mewarisi sebuah peradaban kuno yang besar di abad ke-20 dalam beberapa dekade sekarang, dunia Arab sedang melakukan modernisasi berbagai aspek kemasyarakatan. Pemikiran dalam Islam lahir tidak bersamaan dengan kedatangan Islam, tetapi jauh sesudahnya. Pemikiran Islam lahir setelah melalui proses sejarah yang panjang. Ia berangkat dari kepentingan-kepentingan setelah wafatnya Rasulullah Muha

SOAL BAHASA ARAB KLS XI

PEMERINTAH KOTA PAREPARE DINAS PENDIDIKAN SMA NEGERI 2 PAREPARE Alama : Jalan Jend. Sudirman No.31 Tlp.(0421) 21982 – 21674. E-Mail : smada_parepare@yahoo.co.id SOAL ULANGAN SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2013-2014 Kelas                           : XI Mata Pelajaran            : Bahasa Arab Hari/ Tanggal  : Sabtu, 14 Desember 2013 Waktu                         : 09.15 – 10.40 Ø   Jawab pertanyaan berikut ini dengan jujur dan manfaatkan waktu sebaik-baiknya!.                                     A.     PILIHAN GANDA مَنْ هُوَ ؟ .1 أ. هُوَ أُسْتَاذٌ             ب. هُوَ مُدَرِّسَةٌ     ج. هِيَ عَمِيْدٌ               د. هِيَ طَالِبَةٌ   مَنْ هِيَ ؟ .2   أ. هُوَ أُسْتَاذٌ             ب. هُوَ مُدَرِّسَةٌ     ج. هِيَ عَمِيْدٌ               د. هِيَ طَالِبَةٌ      هَلْ هُوَ جَيْشٌ ؟ .3 أ. نَعَمْ، هُوَ جَيْشٌ